PENDIDIKAN: KEGELISAHAN SEPANJANG JAMAN
Oleh: Yeremias M. Naibini, S.Pd
Bila menilik kembali ke belakang tentunya kita akan berpikir tentang kehidupan dimasa lampau yang mana kita sendiri bila terlibat secara fisik didalamnya, maka kita akan bertanya pada diri sendiri atau kepada orang lain, “mengapa kita begini?” lalu, “bagaimana kita harus mengatasinya?” Tentunya pada masa itu, kita manusia modern yang hidup dijaman sekarang akan disebut dengan predikat ‘manusia purba’. Predikat itu melekat pada diri manusia yang hidupnya dijaman prasejarah dimana manusia belum mengenal tulisan untuk mengungkapkan hakikat dasar mereka sebagai manusia beradab. Bisa dimaklumi bahwa sebuah peradaban haruslah diungkapkan melalui tulisan. Para peneliti modern, merasa kesulitan dengan tanda-tanda kehidupan primitif dijaman prasejarah. Ketika jaman purba telah berganti dengan sejarah dimana manusia telah mengenal tulisan baik dalam bentuk arca dan prasasti yang ditulis memakai Sansekerta dimana peradaban telah berganti dari primitif menjadi pra-modern. Jaman pra-modern itu sendiri manusia telah mengenal tulisan namun masih berkutat pada hal-hal yang berbau primitif. Jaman pun telah berganti dan mulai bermunculan orang-orang yang memikirkan sesuatu yang bersifat hakiki untuk kehidupan manusia yang tak lekang oleh panas serta tak lapuk oleh hujan dan itu dinamakan pendidikan, namun, setelah kehidupan manusia itu sendiri telah modern akibat kemajuan pendidikan, justru keadaan itu terbalik. Keberbalikan itu memunculkan kondisi dan situasi lembaga pendidikan yang saban hari kian dinamis. Dengan kondisi yang serba dinamis, para pendidik dituntut untuk selalu berinovasi guna mengejar ketertinggalan sebagian masyarakat pada dimensi yang lain. Dimensi yang selalu memiliki ketertarikan telah menjadikan suasana yang menimbulkan sebuah titik balik Zombie pada ambang kebimbangan. Kebimbangan tersebut telah menimbulkan sebuah kecemasan yang tidak saja berimbas kepada lembaga pendidikan semata namun juga kepada pemerintah. Manusia sebagai “subjek” atau “pelaku” dari pendidikan itu sudah seharusnya sadar bahwa “pendidikan” bukan saja memanusiakan manusia namun juga “menyiapkan” anak didik kita sebagai “sesuatu yang berharga” di masa depan bukan hanya sebatas “hidangan lezat” yang memuaskan peradaban modern. Sebagai sebuah refleksi untuk mengakhiri tulisan ini, sudahkah kita sebagai penyelenggara pendidikan menyiapkan anak didik kita sebagai agent of change bagi peradaban? Ataukah membiarkan mereka berjalan “mundur” kembali ke jaman purba? Salam refleksi!
<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-9026929117710168"
crossorigin="anonymous"></script>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar